Sejak sekitar 8.000 tahun yang lalu manusia telah mengenal dan memanfaatkan cermin. Pada kurun waktu itu, manusia memanfaatkan kepingan batu yang mengkilap seperti batu obsidian untuk dijadikan cermin. Salah satu bukti kuat adalah dengan ditemukannya cermin obsidian di daerah Anatolia, Turki, yang diperkirakan dibuat sekitar tahun 6.000 SM. Penemuan cermin dari batu mengkilap lainnya juga didapatkan di Amerika Tengah dan Selatan yang diperkirakan dibuat sekitar tahun 2.000 SM.
Teknologi untuk membuat cermin kemudian berkembang dengan ditemukannya cermin yang terbuat dari tembaga yang mengkilap yang dibuat di Mesopotamia pada 4000 SM dan di Mesir pada tahun 3000 SM. Di China, ditemukan cermin yang terbuat dari perunggu yang diperkirakan dibuat pada tahun 2000 SM.
Cermin kaca berlapis logam diciptakan di Sidon, Lebanon pada abad pertama Masehi. Cermin kaca dengan sandaran dari daun emas juga disebutkan oleh seorang pengarang dari Romawi bernama Pliny dalam buku Natural History miliknya, yang dikarang sekitar tahun 77 M. Orang Romawi juga mengembangkan teknik menciptakan cermin yang kasar dari kaca hembus yang dilapisi dengan timah yang dilelehkan.
Cermin berbentuk parabola seperti cermin cembung dan cermin cekung pertama kali dideskripsikan oleh fisikawan dari Arab bernama Ibnu Sahl pada abad 10 M. Ibnu al-Haytham mendiskusikan cermin cembung dan cekung dalam geometri bola dan tabung, melakukan beberapa percobaan dengan cermin, dan menyelesaikan permasalahan menemukan titik di sebuah cermin cembung dimana sinar yang datang dari satu titik dipantulkan ke titik yang lain. Dan pada abad 11, cermin kaca yang jernih telah diproduksi di Al-Andalus.
Pada awal Abad Renaisans, orang Eropa menyempurnakan metode melapisi kaca yang telah ditemukan sebelumnya dengan menggunakan campuran timah dan raksa. Baik tanggal serta lokasi penemuan itu masih belum diketahui, tapi diperkirakan pada abad ke-16, di Venesia, sebuah kota yang terkenal dengan keahilan membuat kaca, menjadi pusat produksi cermin dengan mempergunakan teknik ini. Cermin kaca dari periode ini dulunya merupakan barang mewah yang amat mahal dan hanya digunakan oleh orang-orang kaya dan kaum bangsawan.
Justus Liebig menemukan cermin kaca pantul seperti yang banyak digunakan sekarang pada tahun 1835. Prosesnya melibatkan pengendapan lapisan perak metalik ke kaca melalui reduksi kimia perak nitrat. Proses melapisi kaca dengan substansi bersifat reflektif (silvering) ini diadaptasi untuk memproduksi cermin secara massal. Saat ini, cermin sering diproduksi dengan mengendapkan aluminium (atau kadang-kadang perak) langsung ke substrat kaca.
CARA KERJA CERMIN
Kebanyakan cermin modern terdiri dari lapisan tipis aluminium yang dibalut dengan kepingan kaca. Cermin ini disebut “sepuh belakang” (back silvered), di mana permukaan memantul dilihat melalui kepingan kaca. Pelapisan cermin dengan kaca membuat cermin tahan, tetapi mengurangi kualitas cermin karena tambahan biasan permukaan depan kaca. Cermin seperti ini membalikkan sekitar 80% dari cahaya yang datang. Bagian belakang cermin sering dicat hitam sepenuhnya untuk melindung logam dari pengikisan.
Sementara teleskop dan peralatan optik yang lain, menggunakan cermin “sepuh depan” (front silvered), dimana permukaan pemantul diletakkan di permukaan kaca, yang memberikan kualitas bayangan lebih baik. Kadang-kadang juga digunakan perak, tetapi kebanyakan cermin ini menggunakan aluminum, yang memantulkan gelombang pendek lebih baik dari perak. Cermin sepuh depan memantulkan 90% hingga 95% dari cahaya datang. Karena logam berkarat dengan adanya oksigen dan kelembapan, cermin sepuh depan perlu diganti permukaannya secara berulang untuk mempertahankan kualitas. Cara lain adalah, tentunya, menggunakan tempat vakum untuk menaruh cermin ini.